Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memasukkan ketentuan baru dalam Revisi Undang undang (RUU) Pemilu yang mengatur larangan bagi eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi calon peserta pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). RUU Pemilu menjadi salah satu draf undang undang yang telah disepakati pemerintah dan DPR masuk Prolegnas 2021. Dalam draf RUU Pemilu itu ditulis secara gamblang atau tersurat larangan bekas eks Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilarang berpartisipasi sebagai peserta pemilu.
Selama ini larangan bagi eks HTI tak pernah ditulis secara tersurat dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Syarat mengenai peserta pemilu itu diatur di pasal 182. Dalam pasal 182 ayat 2 dijelaskan bahwa eks HTI dan PKI dilarang ikut pemilu. Artinya mereka tak boleh berpartisipasi dalam pileg, pilpres, atau pilkada. Larangan bagi eks PKI diatur dalam pasal 182 ayat 2 huruf ii.
Berikut bunyinya: "Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.3O.S/PKI," demikian bunyi Ketentuan huruf ii syarat pencalonan peserta Pemilu. Lalu bunyi ketentuan terkait HTI di poin selanjutnya. "Bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI);" tulis ketentuan huruf jj. Pada pasal 311, pasal 349 dan pasal 357 draf revisi UU Pemilu juga mewajibkan para calon presiden dan calon kepala daerah wajib melampirkan persyaratan administrasi berupa surat keterangan dari pihak kepolisian sebagai bukti tak terlibat organisasi HTI.
"Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dari kepolisian," bunyi pasal tersebut. Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Christina Aryani membenarkan adanya pasal tersebut dalam draf RUU Pemilu. Namun Christina belum bisa berkomentar banyak perihal draf RUU Pemilu tersebut. Menurutnya, draf itu akan masih melalui banyak proses dan belum final.
"Ya jelas belum final, ini baru diajukan komisi II ke Baleg. Nanti akan melalui proses harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsepsi dulu di Baleg," kata Christina. Sebelumnya Pemerintahan Jokowi mengumumkan HTI sebagai ormas terlarang di Indonesia. Status itu sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU 30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU 0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.
Pencabutan badan hukum HTI merupakan tindak lanjut dari penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. RUU Pemilu bakal menjadi landasan aturan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 serta Pilkada 2022. RUU Pemilu ini antara lain mengatur pelaksanaan Pemilu 2024, Pilkada 2022 dan Pilkada 2023. Sehingga, syarat peserta pemilu, jika RUU ini disahkan, bakal berlaku untuk Pemilu 2024, baik pilpres maupun pileg, Pilkada 2022 dan Pilkada 2023.
Pilkada 2022 dihelat di daerah yang mana gubernur, bupati dan wali kota sudah menjabat sejak 2015. Salah satu daerah yang akan menggelar pilkada 2022 adalah Provinsi DKI Jakarta. Selain soal syarat pemilu, RUU pemilu juga mengatur banyak hal mengenai teknis penyelenggaraan pemilu. Mulai dari presidential threshold, parliamentary threshold, sistem pemilu, hingga jadwal penyelenggaraan pilkada hingga pilpres dan pileg.
PAN Menentang Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan secara prinsip PAN menolak Revisi UU Pemilu. Karena itu semua ketentuan merujuk pada UU Pemilu yang sudah berlaku. "Saya mengatakan tadi, kita menghargai pendapat kawan kawan. Tetapi kami tidak setuju itu, biar saja ini (UU lama) dipakai dulu. UU ini masih layak, masih bagus, masih bisa 3 4 pemilu lagi," kata Zulhas usai konferensi pers di Ruang Fraksi PAN DPR, Senayan, Jakarta, Senin (25/1/2021).
Zulhas menegaskan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih bisa digunakan untuk penyelenggaraan pemilu yang akan datang. Apalagi, kata dia, pemerintahan masih dipimpin oleh Presiden Jokowi. "Dulu kita sepakat ini UU Pemilu ini bisa digunakan tiga sampai empat kali pemilu. Lah ini kan Pak Jokowi pemerintah masih sama, terus kita bertengkar ingin kita ubah lagi," tuturnya. Zulhas juga menyebut bukan hal yang mudah membahas RUU Pemilu. Sebab ada banyak kepentingan yang harus diakomodir.
"Tentu mengakomodir berbagai kepentingan berbagai kalangan tentu tidak mudah," ujarnya. Zulhas juga tidak setuju dengan RUU Pemilu karena negara masih berjuang menghadapi pandemi virus corona, dan kesulitan ekonomi yang diakibatkan pandemi. Sehingga pemerintah harusnya fokus menangani masalah yang ada di depan mata.